
Foto : Bagus Adil, Ketua KPPD
HALOJAWATIMUR.COM - Yuval Noah Harari, melalui karyanya yang provokatif, "Homo Deus: A Brief History of Tomorrow", mengajak pembaca untuk melompat melampaui masa kini dan merenungkan apa yang akan terjadi ketika umat manusia, yang telah berhasil mengatasi kelaparan, wabah, dan perang (setidaknya dalam skala yang lebih kecil), kini memfokuskan ambisinya pada tiga proyek besar: keabadian (immortality), kebahagiaan (happiness), dan keilahian (divinity).
Inti Argumen "Homo Deus"
Harari berargumen bahwa seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bioteknologi dan algoritma, "Homo Sapiens" kemungkinan akan berevolusi menjadi "Homo Deus*"—manusia dengan kemampuan seperti dewa. Inti dari perubahan ini adalah pergeseran otoritas dari humanisme (yang menempatkan perasaan dan kehendak manusia sebagai otoritas tertinggi) ke "Dataisme" (yang menganggap seluruh alam semesta sebagai aliran data, dan nilai tertinggi adalah meningkatkan aliran data tersebut). Dalam pandangan Dataisme, manusia hanyalah sebuah algoritma biologis yang pada akhirnya akan dikalahkan dan digantikan oleh algoritma non-biologis yang jauh lebih efisien, cerdas, dan unggul.
Demokrasi di Persimpangan Jalan
Resonansi terbesar "Homo Deus" terhadap isu demokrasi terletak pada pertanyaan fundamental tentang "nilai manusia dan pengambilan keputusan" di era algoritma super.
1. Algoritma vs. Kehendak Bebas
Demokrasi modern dibangun di atas premis humanisme: "pemilih adalah otoritas tertinggi". Kita percaya bahwa individu memiliki kehendak bebas, dapat memahami kepentingan terbaik mereka, dan karenanya berhak memilih pemimpin mereka. Namun, Harari mempertanyakan fondasi ini. Jika perasaan, keinginan, dan pilihan kita hanyalah produk dari algoritma biokimia yang dapat diprediksi dan bahkan dimanipulasi—terutama oleh algoritma eksternal yang jauh lebih canggih—maka "apakah kehendak bebas itu benar-benar ada?" Jika sebuah sistem AI dapat menganalisis data kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri, dan tahu persis apa yang akan kita pilih (atau apa yang harus kita pilih demi "kesejahteraan" kita), mengapa kita masih harus bergantung pada proses demokrasi yang lambat dan penuh bias manusia? Harari meramalkan bahwa algoritma mungkin akan menggantikan pemilih, karena dianggap mampu membuat keputusan politik yang "lebih rasional" berdasarkan data.
2. Ancaman Ketidaksetaraan Biologis
Proyek keabadian dan keilahian tidak akan tersedia bagi semua orang. Harari memprediksi munculnya "ketidaksetaraan biologis" yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka yang kaya dan berkuasa akan mampu mengakses teknologi peningkatan diri (bioteknologi dan rekayasa genetik) yang membuat mereka lebih unggul, cerdas, dan bahkan lebih panjang umur. Dalam skenario ini, bagaimana demokrasi dapat bertahan? Demokrasi membutuhkan "kesetaraan" mendasar di antara semua pemilih. Jika ada kelas "Homo Deus" yang secara kognitif dan biologis jauh lebih unggul dari kelas "Homo Sapiens" yang biasa, kesetaraan politik akan runtuh. Kaum elit baru ini mungkin tidak lagi memiliki kepentingan yang sama dengan massa, menjadikan konsep "satu orang, satu suara" terasa usang dan tidak relevan.
3. Dataisme dan Pengawasan
Munculnya Dataisme memberikan alat pengawasan dan kontrol yang sempurna bagi rezim otoriter (atau bahkan demokrasi yang korup). Ketika semua data—dari detak jantung hingga interaksi media sosial—dianggap sebagai aset yang harus dimaksimalkan, negara atau perusahaan dapat menciptakan "diktator digital" yang mampu memanipulasi masyarakat secara massal tanpa perlu kekerasan fisik.
"Homo Deus" bukan hanya buku sejarah atau fiksi ilmiah, melainkan sebuah "peringatan keras" bagi sistem politik saat ini, khususnya demokrasi. Bagi siapa pun yang peduli dengan masa depan tata kelola dan politik, "Homo Deus" adalah bacaan wajib yang akan mengubah cara Anda memandang setiap berita utama tentang AI, Big Data, dan masa depan pemilihan umum. (Afn/red)